Menurut Audrey Kahin (1985)akibat dari batasan
wilayah negara Indoensia yang didasarkan pada bekas wilayah Hindia Belanda,
sering di buat generalisasi dalam sejarah Indoensia. Maksunya begitu banyak generalisasi yang
dibuat berdasarkan tingkat revolusi sejarah nasional.
Menurut dia, memang betul bahwa Indoensia adalah
suatu bangsa dari sabang samapai merauke, tetapi harus juga diakui bahwa
bangkitnya nasionalisme di Indonesia bervariasi dari satu daerah kedaerah yang
lain. Seperti halnya Audrey Kahin, Bambang Purwanto
(2006) mengungkapkan bahwa ada yang ironis dalam historiografi Indonesia.
Perkembangan nasional Minahasa, Pasundan, Sumatera atau Jawa telah di reduksi
dan di lebur dalam perkembangan Nasionalisme Indoensia. Padahal sebagai suatu realitas, apa yang
dilakukan padaat tertentu ada kaitannya dengan nasionalisme Indonesia
atau mengidentifikasi diri dengan bangsa indonesia, nasionalisme
merupakan suatu yang dibentuk dan bersifat dinamis.
Nasionalisme indonesia
adalah nilai-nilai yang sengaja di formulasikan sebagai sintesis terhadap
dominasi kolonialisme Belanda oleh
sekelompok masyarakat yang sebelumnya
memiliki Identitas masing-masing yang berbeda. Sebagai ikatan kebangsaan,
entitas indonesia tidak pernah ada
sebelumnya dan baru muncul pada awal abad XX dan mencapai puncak pada
proklamasi kemerdekaan 1945. Sejak saat itu seluruh penduduk di
bekas wilayah hindia belanda menyebut diri mereka sebagai Bangsa Indonesia. (Pemikiran Audrey dan Bambang Bisa dilihat
dalam Kajian E.F. David Henley dan O’Malley.)
Henley yang
mengkaji Nasionalisme di Minahasa menegasakan, memang masyarakat Minahasa pada
akhirnya menjadi bagian dari Bangsa Indoensia tetapi pandangan mereka tentang Indonesia berbeda dengan yang di
promosikan oleh Soekarno. Konsep
Nasionalisme yang promosikan oleh Soekarno, yakni satu nusa, satu bangsa dan
satu bahasa, tetap merupakan sesuatu yang asing bagi sebagian besar masyakat
Minahasa, termasuk kelompok Inetelktualnya. Indonesia sebagai suatu bangsa adalah suatu proyek politik , bukan berdasarkan
fakta sejarah atau budaya. Bagi
masyarakat Minahasa, Bangsa Indonesia
adalah sesuatu yang abstrak, sementara Negara Indonesia yang diharapkan
adalah sebuah negara federal yang
memungkinkan setiap daerah memelihara otonomi politik dan budaya. Dengan
demikian, konsep Indonesia sebagai satu bangsa tidak dapat diterima secara
mudah oleh masyakat Minahasa.
Begitu Juga dengan O’Malley (1980) yang menjelaskan
bahwa perjuangan lokal dapat dilihat sebagia bagian dari konteks nasional ,
sehingga pergerakan nasionalis di indonesia
dapat juga di lihat dari prespektif
yang berbeda. Menurut dia, nasionalisme adalah suatu penegasan bahwa
masyarakat adalah satu. Meski demikian nasionalisme indonesia tidak hanya
digerakan oleh nasionalis sperti (Partai Nasionalis Indonasia) PNI dan Serikat
Islam (SI). Tetapi juga kelompok lokal seperti paguyuban pasundan
dan pakempalan Kawulo ngayogyakarta (PKN). O’Malley menjelasakan bahawa
organsiasi nasional seperti Pasundan yang didirikan pada tahun 1914 dan PKN
pada 1930 mencerminkan nasionalisme dalam konteks regional. Pasundan sebagai
bagian dari Boedi Oetomo bertujuan meningkatkan
intelektual, moral dan sosial masyarakat jawa barat. Dan mereka juga
menyadari bahwa masyarakat jawa barat adalah sekelompok manusia dan bukan
bangsa. Mereka hanya mewakili diri mereka
sebagai bagian dari masyarakat indonesia
dalam konteks lokal.
Kesimpulan penulis, perkembangan sejarah di setiap
daerah memiliki karakteristik
nasionalisme sendiri . Sangat berbahaya apabila kita melihat kesadaran nasional
sebagai proses yang sama di setiap
daerah . Menurut Penders (2002) Nasionalisme Papua berawal
dari munculnya sikap anti-amberi akibat kebrutalan perlakuan tentara jepang dan
orang maluku dan sulawesi utara. Istilah
Amberi di gunakan oleh masyarakat Biak
dan sekitarnya terhadap orang Indonesia bagian timur yang pertama kali membawa
budaya melayu.
Menurut
Drooglever dengan karyanya “An Act of free Choice Decolonization and
the Right to Self determination in West Papua”. Mengatakan bahwa samapai
perang dunia ke II, nasionalisme orang indonesia belum menyentuh orang papua
dan sesudah perang dunia ke II pun tidak ada gerakan nasionalis Indoensia diantara orang-orang papua yang
anti Belanda. Munculnya gerakan yang menentang pemerintah belanda, menurut dia
di picu oleh peran orang maluku dan pendudukan jepang di papua.
Pigay (2000) mengatakan bahwa sejak awal orang
papua sudah mengadakan perlawanan
terhadap orang asing karena di dorong oleh semangat nasionalisme
yang memiliki akar sejarah dan ideologi
nasionalisme papua. Semangat nasionalisme ini telah lama di tanamkan oleh pemrintah belanda dari generasi ke
generasi selama seperempat abad. Sejak awal 1940-an ketika Van Echoud
mendirikan sebuah sekolah Pamong Praja di
Holandia.
Antoh (2007) dalam kajiannya menjelaskan
bahwa Nasionalisme Papua terbentuk dari
persentuhan dengan bangsa lain kemudian
berkembang. Pada mulanya di warnai dengan nasionalisme etnis, kemudia
berkembang menjadi nasionalsime
pro-papua dan pro-Indoensia. Tetapi kajian Antoh ini tidak dapat memberikan
penjelasan nasionalisme papua dan nasionalisme
Indonesia. Dia menyebutkan bahwa nasionalisme papua selain sebagai
nasionalisme papua yang pro- Indoensia
juga sebagai Nasionalisme pro-Belanda,
sehingga sulit memahami perbedaan
diantara dua nasionalisme yang dia
maksudkan.
Menurut Matindas (2010) Paham nasionalisme harus
berhenti dari sekedar dihayati sebagai romantisisme akibat dibesar-besarkannya
Ideologi nasionalisme hingga menjadi berhala semu. Paham nasionalisme harus
ditegakkan oleh pengertian dengan logika yang memadai. Bukan dibiarkan tanpa
pengertian yang jelas dan yang etrpenting dirasakan sebagai apai emosi yang
besar membakar semangat. Paham nasionalisme juga harus di jernihkan dalam
konstruksi logika yang jelas agar dapat berfungsi dengan sebenar-benarnya.
Mantindas menegaskan, nasionalisme yang benar adalah yang mampu menghindarkan
negara dari kehancuran.
Sementara itu, Hans kohn (dalam Benni E. Matindas
2010) menyatakan bahwa nasionalisme adalah peristiwa historis dan hanya gejala
historis. Nasionalisme tidak berakar pada sesuatu yang universal dan selalu
valid. Nasionalisme juga tidak bisa dijadikan dasar negara yang objektif.
Nasionalisme hanya ditentukan oleh variabel yang banyak dan dapat berubah-ubah,
yakni ide-ide politik yang bermunculan dan susunan masyarakat dari pelbagai
negeri yang serba berbeda. Pemikiran Matindas dan Hans Kohn sangat penting agar
tidak ada generalisasi dalam melihat pertumbuhan nasionalisme di Indonesia.
Periode 1946-1949 diselenggarakan perundingan dan
konfrensi yang menghasilkan keputusan mengenasi status papua. Dua konfrensi
pertama melibatkan pemerintah (di Malino dan Pangkalpinang) dan dua konferensi
tidak melibatkan pemerintah Indonesia. Wilayah republik Indonesia menuntut proklamasi 17
Agustus 1945 adalah seluruh wilayah bekas penjajahan Hindia Belanda. Menurut
Keputusan rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18
Agustus 1945 wilayah itu mencakup, sumatera, jawa, kalimantan sulawesi,
NTB, NTT dan Maluku (dalam kontek ini
papua dulunya masuk maluku. Namun itu
tidak membuat keinginan belanda untuk menguasai kembali Indonesia hilang.
Keinginan itu kemudian di rangcang kembali oleh Van Mook. Van Mook segera
menyelenggarakan Konferensi untuk
membentuk negara Federal di Indoensia.
Mun (1982) menegasakan bahwa konferensi malino dirancang bagi berbagai
etnis Indoensia agar dapat bekerja sama dalam rangka pembentukan negara
federal.
Dengan dukungan W. Hovem, Van Mook melakukan
pendekatan kepada para pemuka politik dan aliran-aliran dalam masyarakat . dan
para pejabat Indonesia eilayah timur. Maksud dan tujuan konferensi ini adalah
untuk mencari dasar-dasar pembentukan negara federal. Dalam Konferensi ini Van
Mook menegaskan bahwa dalam pemerintahan negara federal ini putra putri
Indoensia akan mengambil peran penting. Peserta konferensi pada umumnya
mendukung proses pembentukan negara federal ini dan mengabaikan adanya
perbedaan etnis diantara mereka. Termasuk dukungan itu datang dari utusan Papua
yakni Frans Kaisiepo menjabat sebagai HBA di Biak dan di dampingi penasehat
wilayah papua De Bruijn. Frans juga mengusulkan untuk merubah nama papua
diganti dengan Irian karena dia menganggap bahwa kata papua itu merendakan
orang-orang papua sendiri. Beberapa ahli juga menyebutkan bahwa Frans
mengusulkan agar papua di pisahkan dengan maluku, namun beberapa ahli juga
mengatakan justru Frans menolak jika papua di pisahkan dengan maluku menjadi
satu residen sendiri. Namun yang pasti pendapat Frans tersebut tdk di gubris
oleh forum waktu itu, sejak saat itulah menurut Drooglever (2009) mengatakan
itu menunjukkan bahwa kontribusi orang papua selama masa itu di marjinalkan, seolah-olah ketika
papua di bicarakan, daeraha itu tidak ada penduduknya.
Van Mook akhirnya berubah pandangan, dalam surat
pribadinya kepada Jonkman tertanggal 27 November 1946 dia menyatakan bahwa
setelah bertemu dengan Dr. W. Hoven dan Van Eechoud, dia berkesimpulan bahwa
papua harus diberikan status khusus. Dia mengutarakan tiga alasan. Yang
pertama, menurut data terbaru, jumlah penduduk papua lebih dari perkiraan
sebelumnya, tidak akan menerima campur tangan indonesia dalam maslaah mereka
dan sehubungan dengan rendahnya peradaban mereka, tidak mungkin membiarkan
mereka di bawah kontrol NIS (Negara Indonesia Serikat). Alasan kedua, di
perlukan dana besar untuk membangun papua. Perlu di pertimbangkan peran
kesultanan Tidore untuk mempermudah pembangunan papua. Ketiga, diusulkan tiga
kemungkinanan papua di berikan status khusus (Penders, 2002), yaitu sebagai
bagian dari kerajaan belanda dan uni Indonesia, sebagai bagian wilayah yang
khusus di atur oleh Uni, dan sebagai bagian wilayah perwalian PBB dibawah
kerajaan belanda atau Uni.
Sejak April sampai Juli 1962 Van Der Veur
melakukan survei tentang perkembangan politik di papua, khususnya mengenai masa
depan papua. Respondennya adalah siswa
Primaire Middelbare School (PMS) di Holandian, Biak, Manokoari dan
Merauke. Siswa Lagere technise School (LTS) di Holandia, Biak dan Merauke. Dan
siswa Opleiding sekolah Pendidikan Guru di sekolah kursus Guru di Serui dan
Merauke. Siswa Kursus Perawat di
Hollandia. Siswa Sekolah Guru agama di Serui, kursus keagamaan di Merauke dan
sekolah guru tingkat menengah pertama di Hollandia. Dari 927 siswa, terdapat
130 orang asal Indonesia, 12 orang asal china, 8 orang peranakan china papua, 3
orang non indonesia dan non china sisanya orang papua.
Hasilnya , para responden berpendapat para elit
papaua cenderung menyibukkan diri dengan urusan politik ketimbang ekonomi. Perihal status masa depan
Papua, sebanyak 77,4 persen responden memilih tetap di bawah pemerintah
Belanda, 0,9 persen memilih bergabung dnegan
Indoensia, 66,5 persen memilih
bergabung dengan papua New Guinea, dan 34 persen memilih merdeka.
Terdapat beberapa komentar responden, yang
mendukung belanda dengan menyatakan, “kami ingin belan tetap memerintah di
tanah kami hingga kami memeperoleh kemerdekaan dan kemudian belanda boleh
kembali kenegaranya”. Yang menolak bergabung dengan Indonesia
berkomentar, “kita tidak mau menjadi budak dan Indonesia adalah daerah yang
miskin dan kelaparan serta menganut
paham komunis”. Yang mendukung papua merdeka menyatakan, “Merdeka
adalah yang terbaik agar Soekarno tidak mengambil daerah orang papua”. Adapun
responde yang memilih netral menurut Van Der Veur, mungkin secara diam-siam
yang netral ini pro Indonesia. Ditegaskan bahwa dalam masalah politik , banyak
orang non papua tidak memperlihatkan sikap anti belanda dan anti Indonesia.
Banyak yang lahir di papua dan orang tua mereka tidak pernah dibawah Pemerintah
Indonesia dan justru mendapatkan posisi di bawah pemerintah belanda. Sementara
itu, responden yang memilih merdeka hanya sedikit.
Dari hasil survei tersebut, Van Der Veur dapat di
simpulkan bahwa apapun kebijakan yang di keluarkan Belanda sejak 1950 hingga
1961 menimbulkan masalah bagi orang papua secara internal maunpun eksternal.
Buktinya, ide papuanisasi (memerdekakan
papua) yang di canangkan Parna tidak mendapatkan respon positif. Orang papua
merasa belum siap untuk melakukan manuver yang sangat cepat. Tidak mengherankan
apabila hasil survei Van Der Veur pada pertengahan 1962 sebelum persetujuan New York memperlihatkan bahwa keinginan orang
papua untuk merdeka kadarnya kecil. Para responden yang umumnya kelompok
terdidik tidak ingin merdeka secepatnya. Mereka ingin pemerintah belanda
menuntun mereka hingga saat yang tepat untuk merdeka. Memang survei ini tidak melibatkan
seluruh masyarakat papua, tetapi minimal dapat menggambarkan sikap kelompok
terdidik/elit papua pada masa itu.
0 comments:
Post a Comment