Responsive Banner design
Home » » Seberapa Pantas Dirimu untuk ku Tunggu...?

Seberapa Pantas Dirimu untuk ku Tunggu...?


Inspirasi tulisan ini datang dari seorang Muslimah yang sholeha, cinta terhadap Tuhannya, cinta kepada Rasulnya dan bangga akan agamanya. Ia pernah menjadi tawanan kaum kafir ketika Amerika melakukan invasi terhadap Irak. Didalam penjara ia mengalami penyiksaan dan pemerkosaan bahkan ia meninggal  dalam penjara karena penyiksaan yang ia terima. Sebelum meninggalkan dunia ini, ia pernah menulis surat yang isinya menceritakan tentang situasi yang dia alami bersama rekannya selama di dalam penjara, namun kalimat yang paling membekas dalam surat itu adalah “Kehormatan kami (akhwat) adalah kehormatan kalian (ikhwan) juga ”. Namanya adalah Fatimah kawan, akhwat yang selalu menyimpan Al-Qur’an di hatinya dan menerima gelar kehormatan syahidahnya di dalam penjara.

Ketika surat ini jatuh di tangan mujahidin Irak, diantara mujahid itu ada salah seorang yang berazzam untuk meminang Fatimah. Karena mujahid ini menganggap Fatimah adalah seorang mujahidah yang suci, tetapi telah di kotori oleh kaum kafir. Taukah dirimu kawan, siapa mujahid itu? Dia adalah Abu Muawiyah as Syamali. Ya, dialah mujahid itu kawan, orang yang berani melamar Fatimah, melamar seorang mujahida yang belum pernah ia temui namun siap menjadi pendampingnnya syurga. Bahkan sebelum mengajukan lamarannya dia berdoa kepada Allah, “Ya Allah aku meminta kepadamu ya Rabb, untuk menikahkan aku dengan Fatimah wanita suci yang terbunuh di penjara Abu Ghuraib yang pernah di kotori oleh thogut keturunan babi dan monyet itu”

Seperti biasanya setiap orang yang menikah maka wajib memberikan mahar kepada seorang akhwat yang akan dinikahinya. Begitupun Abu Muawiyah kawan, dia telah menyiapkan mahar untuk Fatimah dan mahar itu adalah sebuah tabung gas. Ya, tabung gas, dengan tabung gas itulah dia memperoleh gelar syahidnya untuk bertemu dan melamar Fatimah di surga. InsyaAllah...!

Itulah kisah nyata seorang mujahid dan mujahidah di medan jihad. Dengan kemulian-Nya dan kepastian janji-Nya, maka  hanya Allahlah yang akan mempertemukan kedua hambanya ini. Namun  hikmah dari itu semua adalah sebuah kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri bagi seorang Fatimah ketika menunggu seorang mujahid (tentara Allah) yang akan datang melamarnya dan siap menjadi pendampingnya di surga. Begitupun dengan Abu Muawiyah kawan, baginya itulah kebahagian terindah dalam hidupnya bisa menunggu seorang bidadari yang Allah siapkan untuknya.

Mereka berbahagia, karena yang mereka tunggu bukanlah orang yang sembarangan dan bukanlah orang yang biasa. Mereka menunggu orang yang mencatatkan dirinya sebagai orang yang membela agama Allah, mereka lah yang menolong agama Allah ini. Mereka pun tercatat sebagai orang yang menjaga kesucian dirinya untuk selalu berjalan diatas manhaj Rasulullah SAW. Mereka pula yang mengorbankan harta, waktu dan kesenangan dunia hanya untuk memperoleh gelar syahidnya dan bertemu dengan Tuhannya.    

Bagaimana dengan kita? apakah menunggu pasangan hidup adalah sebuah kebahagian dan kebanggaan tersendiri bagi kita atau hanya sekedar menunggu tanpa ada kesan yang berarti?. Buatlah pasangan hidup kita bahagia, buat dia bangga dalam penantiannya menunggu kita, buat dia bahagia dan bangga bahwa yang dia tunggu adalah orang yang menjaga kehormatan diri dan  agamanya, hingga suatu saat nanti Allah akan mempertemukan kalian dengan senyum kebahagian dan kebanggan karena Allah telah menjaga kalian.
Karena seperti halnya diri kita, maka seperti itulah kualitas pasangan kita nanti. Jika kita baik, maka insyaAllah akan mendapatkan kebaikan yang sama dari pasangan kita, begitupun sebaliknya.  Maka mulailah dari sekarang kawan untuk bertanya pada dirimu, “seberapa pantas diriku ini untuk di tunggu?”. Karena bisa saja pada saat bersamaan, pasanganmu itu sedang bertanya kepadamu, “seberapa pantas dirimu untuk ku tunggu?”       

                                             
                                                                                            Imaduddin Al Faruq

                                                                                            Arsitek Politik

0 comments:

Post a Comment