Inspirasi tulisan ini datang dari seorang Muslimah yang sholeha, cinta terhadap Tuhannya, cinta kepada Rasulnya
dan bangga akan agamanya. Ia pernah menjadi tawanan kaum kafir ketika Amerika
melakukan invasi terhadap Irak. Didalam penjara ia mengalami penyiksaan dan
pemerkosaan bahkan ia meninggal dalam
penjara karena penyiksaan yang ia terima. Sebelum meninggalkan dunia ini, ia
pernah menulis surat yang isinya menceritakan tentang situasi yang dia alami
bersama rekannya selama di dalam penjara, namun kalimat yang paling membekas
dalam surat itu adalah “Kehormatan kami
(akhwat) adalah kehormatan kalian (ikhwan) juga ”. Namanya adalah Fatimah
kawan, akhwat yang selalu menyimpan Al-Qur’an di hatinya dan menerima gelar
kehormatan syahidahnya di dalam penjara.
Ketika
surat ini jatuh di tangan mujahidin Irak, diantara mujahid itu ada salah
seorang yang berazzam untuk meminang Fatimah. Karena mujahid ini menganggap
Fatimah adalah seorang mujahidah yang suci, tetapi telah di kotori oleh kaum
kafir. Taukah dirimu kawan, siapa mujahid itu? Dia adalah Abu Muawiyah as
Syamali. Ya, dialah mujahid itu kawan, orang yang berani melamar Fatimah,
melamar seorang mujahida yang belum pernah ia temui namun siap menjadi
pendampingnnya syurga. Bahkan sebelum mengajukan lamarannya dia berdoa kepada
Allah, “Ya Allah aku meminta kepadamu ya
Rabb, untuk menikahkan aku dengan Fatimah wanita suci yang terbunuh di penjara
Abu Ghuraib yang pernah di kotori oleh thogut keturunan babi dan monyet itu”
Seperti
biasanya setiap orang yang menikah maka wajib memberikan mahar kepada seorang
akhwat yang akan dinikahinya. Begitupun Abu Muawiyah kawan, dia telah
menyiapkan mahar untuk Fatimah dan mahar itu adalah sebuah tabung gas. Ya,
tabung gas, dengan tabung gas itulah dia memperoleh gelar syahidnya untuk
bertemu dan melamar Fatimah di surga. InsyaAllah...!
Itulah
kisah nyata seorang mujahid dan mujahidah di medan jihad. Dengan
kemulian-Nya dan kepastian janji-Nya, maka
hanya Allahlah yang akan mempertemukan kedua hambanya ini. Namun hikmah dari itu semua adalah sebuah kebanggaan
dan kebahagiaan tersendiri bagi seorang Fatimah ketika menunggu seorang mujahid
(tentara Allah) yang akan datang melamarnya dan siap menjadi pendampingnya di surga.
Begitupun dengan Abu Muawiyah kawan, baginya itulah kebahagian terindah dalam
hidupnya bisa menunggu seorang bidadari yang Allah siapkan untuknya.
Mereka
berbahagia, karena yang mereka tunggu bukanlah orang yang sembarangan dan
bukanlah orang yang biasa. Mereka menunggu orang yang mencatatkan dirinya
sebagai orang yang membela agama Allah, mereka lah yang menolong agama Allah
ini. Mereka pun tercatat sebagai orang yang menjaga kesucian dirinya untuk
selalu berjalan diatas manhaj Rasulullah SAW. Mereka pula yang mengorbankan
harta, waktu dan kesenangan dunia hanya untuk memperoleh gelar syahidnya dan
bertemu dengan Tuhannya.
Bagaimana
dengan kita? apakah menunggu pasangan hidup adalah sebuah kebahagian dan
kebanggaan tersendiri bagi kita atau hanya sekedar menunggu tanpa ada kesan yang
berarti?. Buatlah pasangan hidup kita bahagia, buat dia bangga dalam
penantiannya menunggu kita, buat dia bahagia dan bangga bahwa yang dia tunggu
adalah orang yang menjaga kehormatan diri dan
agamanya, hingga suatu saat nanti Allah akan mempertemukan kalian dengan
senyum kebahagian dan kebanggan karena Allah telah menjaga kalian.
Karena
seperti halnya diri kita, maka seperti itulah kualitas pasangan kita nanti. Jika
kita baik, maka insyaAllah akan mendapatkan kebaikan yang sama dari
pasangan kita, begitupun sebaliknya. Maka mulailah dari sekarang kawan untuk
bertanya pada dirimu, “seberapa pantas
diriku ini untuk di tunggu?”. Karena bisa saja pada saat bersamaan,
pasanganmu itu sedang bertanya kepadamu, “seberapa
pantas dirimu untuk ku tunggu?”
Imaduddin
Al Faruq
Arsitek Politik
0 comments:
Post a Comment