Responsive Banner design
Home » » Mekanisme Pilkada dan Sistem Demokrasi yang Mahal

Mekanisme Pilkada dan Sistem Demokrasi yang Mahal

DPR dalam sidang paripurna menyetujui Undang-Undang Pilkada, yang salah satu poinnya adalah pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Keputusan itu dinilai sebagai kemenangan Koalisi Merah Putih yang tidak ingin pilkada dipilih secara langsung. Mekanisme pemilihan kepala daerah salah satu isu yang menjadi sorotan, hal itu dianggap penting karena mekanisme pilkada kemarin yakni dipilih langsung oleh rakyat dianggap sebagai sistem pemilihan yang boros dan syarat dengan politik uang dan korupsi, sehingga perlu diganti atau dikembalikan pada mekasnisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
Hingga saat ini ada lima fraksi di DPR yang menyetujui penghapusan pilkada langsung oleh rakyat. Mereka menghendaki pilkada Gubernur , Bupati dan Walikota dipilih langsung oleh DPRD, bukan lagi oleh rakyat secara langsung. Keenam fraksi itu adalah Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan. Sedangkan 3 fraksi yang menolak pilkada oleh DPRD adalah PDIP, Partai Hanura, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Menyikapi di sahkannya UU Pilkada tersebut, hampir semua elemen langsung menyiapkan diri untuk mengajukan judical review UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menggugat aturan yang dinilainya tidak demokratis itu
Perbandingan Pilkada Rakyat dan DPRD
Untuk konteks pilkada melalui oleh DPRD maka kerusakan tetap akan terjadi karena seluruh operasional pemilihan kepala daerah akan diserahkan ke DPRD yang notabene adalah para pemain partai politik itu sendiri, Maka yang akan bermain dalam pemilihan tersebut sesungguhnya adalah partai politik. Sedangkan rakyat sendiri tidak akan mengetahui siapa sebenarnya pemimpin mereka, karena seluruhnya diberikan kepada partai politik.
Persoalanya adalah partai politik hari ini adalah salah satu instrumen atau lembaga politik yang tidak lagi dipercaya oleh rakyat. Berdasarkan hasil survei Political Communication Institute (Polcomm Institute) mayoritas publik tidak mempercayai partai politik (parpol). Publik yang tidak percaya parpol yaitu sebesar 58,2 persen. Kemudian yang menyatakan percaya 26,3 persen, dan menyatakan tidak tahu sebesar 15,5 persen. (kompas.com 09/02/2014). Bahkan berdasarkan hasil survei nasional yang dilakukan Cirus Surveyor Group yang dilakukan pada periode 20 hingga 30 Desember 2013 menjelang Pemilu 2014 kemarin, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik (parpol) terus merosot, kali ini hanya 9,4 persen masyarakat yang percaya dengan parpol.
Rendahnya ketidakpercayaan rakyat kepada partai poltik itu wajar karena, lembaga DPR/DPRD adalah salah satu lembaga yang masuk dalam kategori lembaga terkorup di negeri ini. Adanya predikat yang melekat pada DPR/DPRD sebagai lembaga yang korupsi hal yang wajar juga, karena di sinilah kepentingan penguasa dan pengusaha bermain~melegalkan permainanya untuk mendapatkan keuntungan melalui lobi-lobi pembuatan Undang-undang yang menyangkut 'kehidupan' mereka.
Jika para pemain yang dimunculkan adalah orang-orang pilihan partai dan mekanisme pemilihanya diserahkan kepada DPRD yang notabene adalah orang partai politik juga, maka kepentingan yang dibawa oleh kepala daerah tentunya adalah kepentingan partai poltik juga, bukan kepentingan rakyat. Mengapa kepentingan partai dan bukan kepentingan rakyat? karena terpilihnya mereka menjadi kepala daerah ditentukan oleh mekanisme yang dibuat oleh partai. Disini pula terjadi transaksi politik antara partai politik dan kepala daerah, atau bahasa lembutnya kepala daerah terpilih untuk melayani kepentingan DPRD atau partai politik bukan melayani kepentingan rakyat. Itulah yang dikhawatirkan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sehingga memutuskan mundur dari partai Gerindra.
Riset yang dikeluarkan oleh IGI (Indonesia Governance Index) menemukan Rapor anggota DPRD berdasarkan penelitian di 34 kabupaten dan kota di Indonesia terungkap jeblok, nilai rata-rata hanya 3,42 dengan skala (0-10). Jika nantinya kepala daerah di pilih oleh anggota DPRD dengan nilai rapor yang rendah maka tentu kepala daerah yang dihasilkan pun juga akan berkualitas rendah dengan nilai rapor yang rendah pula.
Satu hal yang perlu di pahami bahwa anggota DPRD itu lahir dari ‘rahim’ partai politik, jika kualitas anggota DPRD hari ini rendah maka itu juga menunjukkan kualitas partai politik yang ada hari ini sama rendahnya. Sederhananya, sistem politik demokrasi hari ini sejatinya membuat kerusakan itu berkorelasi langsung pada tiga hal, mulai dari partai politiknya berkualitas rendah, kemudian melahirkan anggota DPRD yang bobrok dan rusak hingga berlanjut pada Kepala Daerahnya yang bermental budak.
Sistem pemilihan pilkada baik langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD semuanya membawa kerusakan bagi negeri ini. Jika dikatakan bahwa Pilkada langsung mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang hebat dan berkualitas, justru ini keliru. Memang betul bahwa ada beberapa daerah mampu melahirkan pemimipin daerah yang dipandang baik dan berkualitas misalnya saja Ridwan Kamil untuk kota bandung, Tri Rismaharini untuk Surabaya, Nurdin Abdullah untuk Bantaeng, Rutriningsi dari Kebumen dan lainnya. 
Namun, jika kita bandingkan dengan jumlah kepala daerah yang korup dan lahir dari pilkada langsung oleh rakyat jauh lebih banyak. seperti yang dikatakan oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan semakin banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Dari data Kementerin Dalam Negeri ada 330 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi, atau sekitar 86,22 persen (TEMPO.CO, 23/07/2014). Seluruh kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi tersebut, semuanya lahir dari pilkada langsung oleh rakyat. Fakta ini menunjukkan bahwa pemilihan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat jauh lebih banyak menciptakan pemimpin yang korup dibanding pemimpin yang berkualitas yang sifatnya kasuistik di beberapa daerah.
Bukan hanya itu saja, pilkada langsung dari rakyat, justru banyak melahirkan konflik harizontal di beberapa daerah, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Djohermansyah Djohan mencatat grafik kerugian yang disebabkan konflik pasca pilkada (pemilihan kepala daerah langsung) semakin meningkat sejak 2005 hingga 2013. Berdasarkan data Ditjen Otda Kemdagri, rekapitulasi kerugian pasca konflik pilkada di provinsi maupun kabupaten dan kota menyebutkan antara lain jumlah korban meninggal dunia 59 orang, korban luka 230 orang, kerusakan rumah tinggal 279 unit, kerusakan kantor pemda 30 unit, kantor polisi enam unit, dan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah 10 unit. (suarapembaharuan, 08/07/2013). Itu pada tataran level masyarakat, berbeda lagi dengan konflik pada level elit yang bertarung dalam pilkada, berdasarkan catatan Mahkamah Konstitsi (MK) hingga 23 September 2013 lalu, perkara perselisihan hasil Pemilukada mendominasi perkara yang ditangani MK. Secara keseluruhan terdapat 615 perkara perselisihan hasil Pemilukada yang ditangani MK.
Kegagalan Melihat Akar Masalah
Melihat isu Pilkada langsung oleh rakyat atau DPRD ini, justru terlihat ada kegagalan memahami akar persoalan negeri ini. Maraknya politik uang dan korupsi dalam pemilihan kepala daerah yang dituding menjadi alasan partai politik ingin mengubah sistem pemilihan kepala daerah langsung menjadi tak langsung melalui DPRD. Padahal persoalan korupsi dan politik uang bukan pada mekanisme pemilihan baik itu langsung maupun tidak langsung melalui DPRD, karena kedua mekanisme ini terbukti sama-sama melahirkan politik uang dan koruptor.
Yang harus dipahami adalah untuk bertarung mendapatkan kekuasaan dalam sistem demokrasi baik itu langsung maupun tidak langsung melalui DPRD, dibutuhkan modal yang tidak sedikit untuk menjadi kepala daerah baik itu gubernur, bupati atau walikota disuatu daerah, setidaknya dibutuhkan modal puluhan milyar. Untuk modal sebesar itu tentu saja tidak cukup jika mengandalkan modal dari politikus dan partai politik saja, sehingga dibutuhkan modal dari pihak lain dan pihak tersebut adalah pengusaha atau pemilik modal. Modal itulah yang digunakan untuk membelikan suara rakyat (jika mekanisme pilkada langsung oleh rakyat) atau membeli suara anggota DPRD (jika mekanisme pilkada melalui DPRD). Oleh karena itu politik uang tetap akan terjadi baik itu pilkada langsung oleh rakyat atau pilkada melalui DPRD.
Tidak hanya sampai disitu, seorang pemilik modal tidak mungkin memberikan modal besar kepada calon kepala daerah jika tidak menguntungkan bagi dirinya, sehingga antara pemodal dan politikus (calon kepala daerah) akan membuat kontrak politik bahwa jika sang politikus terpilih nantinya maka mereka harus memanfaatkan jabatannya untuk membuka pintu-pintu proyek yang mereka pegang untuk pemilik modal tadi. Jika tidak seperti itu, maka minimal dengan membuat undang-undang yang membolehkan pemilik modal menguasai sumber daya alam yang ada di daerah tersebut. Sang politikus yang hidup dengan orientasi materi juga tentu tidak mau rugi dengan kehabisan modal pada saat kampanye, mereka menggunakan jabatannya untuk memangkas anggaran belanja negara atau daerah untuk mengembalikan modal yang sudah mereka habiskan pada saat kampanye.
Terbukti banyaknya kasus korupsi yang menimpa banyak kepala daerah hari ini bukti nyata bahwa kepala daerah memang membutuhkan dana untuk hidup mewah atau membayar utang kampanye. Contoh nyata yang terjadi adalah seorang walikota yang kini menjadi tersangka di Sulawesi Selatan tepatnya di kota Palopo mengakui memanfaatkan uang bantuan pemerintah pusat dari APBN untuk kepentingan politiknya, usai pemilihan kepala daerah (pilkada) Kota Palopo, 5 Mei 2008 silam. Tersangka mengakui jika sebagian uang itu dipinjam untuk melunasi biaya pemenangan dirinya sebagai wali kota periode kedua. Hal ini membuat kepala daerah tersebut adalah orang pertama di Sulsel yang mengakui memanfaatkan uang negara untuk membiayai aktivitas politiknya. (tribun timur, 29/01/13). Bukan hanya itu, Bupati Biak, Numfor Yesaya menerima suap 100.000 dollars Singapura atau setara dengan 950 juta rupiah dari seorang pengusaha. Uang suap tersebut diterima pada bulan juni 2014, dibutuhkan untuk membayar utang-utangnya setelah mengikuti pemilihan kepada daerah (kompas, 09/09/2014).
Inilah bentuk politik balas budi yang dimainkan oleh para politikus kepada pemilik modal dan itu semua adalah konsekuensi dari kontrak politik yang bangun oleh penguasa dan pengusaha dalam sistem demokrasi. Hal itu semua bisa terjadi karena sistem demokrasi membolehkan hal tersebut berjalan, maka tidak salah jika Pengamat politik Center Strtegic dan International Studies, J Kristiadi menilai korupsi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Menurutnya, korupsi di indonesia tidak bisa di berantas tuntas karena sistem di Indonesia memungkinkan semua orang melakukan korupsi. (pikiran rakyat, 04/02/13)
Inilah korelasi korupsi dengan sistem demokrasi ini, persoalan sesungguhnya bukanlah mekanisme pilkada oleh rakyat atau DPRD, tetapi sistem politik demokrasi yang mahal mengantarkan setiap 'pemain' didalamnya untuk melakukan politik uang untuk mendapatkan kekuasaan yang mereka kejar. Jika permasalahan itu sudah sistemik maka tidak ada pilihan lain kecuali mengganti sistem politik tersebut dengan sistem lainnya. Umat Islam harus memahami bahwa mereka mempunyai sistem politik ‘alternatif’ untuk mengganti sistem politik demokrasi hari ini, itulah sistem politik Islam.

Imaduddin Al Faruq
Muslim Analyze

0 comments:

Post a Comment