“Cinta bukan
mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita
menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan
semangat, tetapi membangkitkan semangat”. Ini adalah ungkapan Hamka tentang
cinta.
Katanya cinta jika
di bicarakan tidak akan ada ujungnya, tetapi ternyata tidak juga. Buktinya
ketika berbicara cinta, banyak kisah-kisah cinta yang berujung pada akhirnya,
banyak film yang berujung pada akhirnya, ya iyalah sebab klo itu tidak berujung
nama bukan kisah/film tapi sinetron. Tapi memang betul, cinta itu ada akhirnya
kok, maksudnya ketika berbicara cinta tidak sedikit orang yang mengakhiri
hidupnya karena cinta. Ah lebay...
Hidup itu hanya
sekali, dengan alasana cinta orang banyak mengakhir hidupnya (maksudnya bunuh
diri). Klo pun tidak, mereka menangis karena cinta apalagi klo wanita, uh...
pasti sering menangis karena cinta (tapi tidak semua wanita lho) dan laki-laki
juga gak sedikit yang menangis karena cinta. Klo di tanya kenapa antum
menangis? Jawabnya pasti karena sakit...
hallah.
Kenapa sakit karena
cinta? Cinta itukan karunia Allah, masa sakit karena cinta? Yang namanya
karunia itukan seharusnya membawa kita kepada kebahagiaan, apalagi itu
datangnya dari Allah Sang pemilik cinta. Betul gak? Awalnya saya pun bertanya
sama seperti kalian. Apakah memang saat ini kita salah memahami cinta itu atau
memang itulah cinta, ada sakit didalamnya? Imam Ali bin Abi
Thalib karamallahu wajhah didalam buku Nahjul Balaghah berkata “Cintailah orang
yang kau cintai sekedarnya saja, siapa tahu pada suatu hari kelak ia akan
berbalik menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah orang yang kau benci
sekadarnya saja, siapa tahu pada suatu hari kelak ia akan menjadi orang yang
kau cintai”.
Kata kunci dalam
perkataan Imam Ali ini adalah ‘sekadarnya’ saja. Klo bicara berbicara ‘kadar’
cinta itu, artinya jika kadarnya itu berlebih mungkin akan fatal akibatnya.
Perumpamaan sederhanya, jika ada gelas, kemudian gelas tersebut di isi air tidak sesuai dengan kadar tampung
gelas, maka bisa kita pastikan air itu pasti tumpah. Contoh lainya, jika kita
mengisi perut kita dengan makanan dan jumlah makanan yang berlebihan tidak
sesuai dengan kadar tampung lambung kita, juga pasti akan menghasilkan
penyakit. Makanya dalam islam umat islam diajarkan untuk mengisi perut
sepertiga dengan air, sepertiga dengan makanan,
dan sepertiga untuk udara.
Kesimpulan awal
yang bisa kita tarik sederahananya, cinta harus sesuai dengan kadarnya saja,
jangan berlebihan dan jangan pula kekurangan. Trus klo kurang, bisa saja cinta
itu akan berujung pada kebencian. Apakah cukup kita menyimpulkan bahwa cinta
yang baik dan benar adalah cinta yang sesuai dengan kadarnya? Gak juga, karena yang
dimaksud ‘jumlah kadar’ itu sendiri belum jelas bagi seorang muslim. Standar
apa yang bisa kita gunakan bahwa cinta kita dalam pandangan islam sudah sesuai
dengan kadarnya? Inikan belum jelas, karena dalam islam kadar cinta itu tidak
bisa kita logika-kan dengan perumpamaan
seperti contoh diatas.
Dalam kitab Min
Muqawimat Nafsiah Islamiyah di jelaskan cinta merupakan salah satu
kecenderungan yang akan membentuk nafsiyah (pola sikap) seseorang. Kecenderungan ini adalah perkara alami yang
berbentuk naluri yang bersifat fitri sesuai dengan penciptaan Allah.
kecenderungan ini tidak ada hubungannya dengan mahfum (pemahaman
seseorang) seperti cinta terhadap harta.
Namun ternyata kecenderungan ini juga merupakan dorongan yang berhubungan
dengan pemahaman tertentu. Misalnya, seorang akhwat yang sholeha tidak akan
mungkin mencintai seorang preman karena dalam pemahamannya, jika dia menikah
dengan seorang preman tidak mungkin akan membentuk keluarga sakinah, yang ada
malah akan membentuk keluarga preman juga (kecuali preman dalam sinetron).
Ini membuktikan
bahwa setiap cinta seseorang pasti ada mahfum (pemahaman) didalamnya. Nah,
dalam islam sendiri setiap tindakan itu harus di dasarkan pada pemahaman islam,
dan dalam islam tindakan seorang muslim haruslah didasarkan karena Allah semata
begitupun ketika kita mencintai seseorang, cinta itu harus dikarenakan Allah
semata. Rasulullah saw bersabda, “Siapa saja yang memberi karena Allah, menolak
karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah dan menikah
karena Allah, maka berarti ia telah sempurna imannya” (HR. Al Hakim)
Apakah ada sakit
ketika iman ini telah sempurna? Tentu tidak akan ada sakit jika iman ini
sempurna. Lalu apa cinta karena Allah itu? Cinta karena Allah adalah mencintai
hamba Allah karena keimanan kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya. Tidak mungkin
ada sakit dalam cinta, jika disandarkan pada Allah, begitupula cinta tidak akan
pernah ada cinta yang bisa kita rasakan, jika kita tidak mengetahui karena apa
kita mencintai seseorang. Itulah yang dijadikan untuk melihat standar kadar
cinta seseorang...
Kesimpulan
Cinta itu sangat
sederhana, kita tidak perlu ‘lebay’ dalam mengartikanya. Lebay dalam artian,
masa harus menangis karena cinta? Masa kita harus jual kehormatan dan harga
diri ini karena cinta? Masa harus bunuh diri karena cinta? Apalagi mengatakan
‘ku menangis untuk membuktikan bukti cintaku pada si dia’, atau mengatakan
‘harus ada sakit jika mencintai seseorang’ (hallah). Ke-lebay-an dalam
mengartikan cinta inilah yang justru menghilangkan makna cinta yang sebenarnya,
bukan malah mencerahkan apa makna cinta itu sendiri. Yahya bin Mu’az berkata:
“Cinta karena Allah tidak akan bertambah hanya karena orang yang engkau cintai
berbuat baik kepadamu, dan tidak akan berkurang karena ia berlaku kasar
kepadamu”.
Lho kok bisa? Iyalah
karena cinta anda tumbuh bersemi karena adanya iman, sehingga bila iman orang
yang anda cintai tidak bertambah, maka cinta andapun tidak akan bertambah. Dan
sebaliknya, bila iman orang yang anda cintai berkurang, maka cinta andapun
turut berkurang. Anda cinta kepadanya bukan karena materi, pangkat kedudukan
atau wajah yang rupawan, akan tetapi karena ia beriman. Itulah kenapa cinta itu
di sebut karunia Allah, dan karena itu pula dalam karunia Allah itu tidak mungkin
ada sakit didalamnya...
Imaduddin Al Faruq
Arsitek Politik
0 comments:
Post a Comment