Responsive Banner design
Home » » Cinta itu Karunia Allah...!

Cinta itu Karunia Allah...!

“Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat”. Ini adalah ungkapan Hamka tentang cinta. 

Katanya cinta jika di bicarakan tidak akan ada ujungnya, tetapi ternyata tidak juga. Buktinya ketika berbicara cinta, banyak kisah-kisah cinta yang berujung pada akhirnya, banyak film yang berujung pada akhirnya, ya iyalah sebab klo itu tidak berujung nama bukan kisah/film tapi sinetron. Tapi memang betul, cinta itu ada akhirnya kok, maksudnya ketika berbicara cinta tidak sedikit orang yang mengakhiri hidupnya karena cinta. Ah lebay...

Hidup itu hanya sekali, dengan alasana cinta orang banyak mengakhir hidupnya (maksudnya bunuh diri). Klo pun tidak, mereka menangis karena cinta apalagi klo wanita, uh... pasti sering menangis karena cinta (tapi tidak semua wanita lho) dan laki-laki juga gak sedikit yang menangis karena cinta. Klo di tanya kenapa antum menangis? Jawabnya  pasti karena sakit... hallah.

Kenapa sakit karena cinta? Cinta itukan karunia Allah, masa sakit karena cinta? Yang namanya karunia itukan seharusnya membawa kita kepada kebahagiaan, apalagi itu datangnya dari Allah Sang pemilik cinta. Betul gak? Awalnya saya pun bertanya sama seperti kalian. Apakah memang saat ini kita salah memahami cinta itu atau memang itulah cinta, ada sakit didalamnya? Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah didalam buku Nahjul Balaghah berkata “Cintailah orang yang kau cintai sekedarnya saja, siapa tahu pada suatu hari kelak ia akan berbalik menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah orang yang kau benci sekadarnya saja, siapa tahu pada suatu hari kelak ia akan menjadi orang yang kau cintai”. 

Kata kunci dalam perkataan Imam Ali ini adalah ‘sekadarnya’ saja. Klo bicara berbicara ‘kadar’ cinta itu, artinya jika kadarnya itu berlebih mungkin akan fatal akibatnya. Perumpamaan sederhanya, jika ada gelas, kemudian gelas tersebut  di isi air tidak sesuai dengan kadar tampung gelas, maka bisa kita pastikan air itu pasti tumpah. Contoh lainya, jika kita mengisi perut kita dengan makanan dan jumlah makanan yang berlebihan tidak sesuai dengan kadar tampung lambung kita, juga pasti akan menghasilkan penyakit. Makanya dalam islam umat islam diajarkan untuk mengisi perut sepertiga dengan air, sepertiga dengan makanan,  dan sepertiga untuk udara.

Kesimpulan awal yang bisa kita tarik sederahananya, cinta harus sesuai dengan kadarnya saja, jangan berlebihan dan jangan pula kekurangan. Trus klo kurang, bisa saja cinta itu akan berujung pada kebencian. Apakah cukup kita menyimpulkan bahwa cinta yang baik dan benar adalah cinta yang sesuai dengan kadarnya? Gak juga, karena yang dimaksud ‘jumlah kadar’ itu sendiri belum jelas bagi seorang muslim. Standar apa yang bisa kita gunakan bahwa cinta kita dalam pandangan islam sudah sesuai dengan kadarnya? Inikan belum jelas, karena dalam islam kadar cinta itu tidak bisa kita logika-kan dengan perumpamaan  seperti contoh diatas.

Dalam kitab Min Muqawimat Nafsiah Islamiyah di jelaskan cinta merupakan salah satu kecenderungan yang akan membentuk nafsiyah (pola sikap) seseorang.  Kecenderungan ini adalah perkara alami yang berbentuk naluri yang bersifat fitri sesuai dengan penciptaan Allah. kecenderungan ini tidak ada hubungannya dengan mahfum (pemahaman seseorang)  seperti cinta terhadap harta. Namun ternyata kecenderungan ini juga merupakan dorongan yang berhubungan dengan pemahaman tertentu. Misalnya, seorang akhwat yang sholeha tidak akan mungkin mencintai seorang preman karena dalam pemahamannya, jika dia menikah dengan seorang preman tidak mungkin akan membentuk keluarga sakinah, yang ada malah akan membentuk keluarga preman juga (kecuali preman dalam sinetron).

Ini membuktikan bahwa setiap cinta seseorang pasti ada mahfum (pemahaman) didalamnya. Nah, dalam islam sendiri setiap tindakan itu harus di dasarkan pada pemahaman islam, dan dalam islam tindakan seorang muslim haruslah didasarkan karena Allah semata begitupun ketika kita mencintai seseorang, cinta itu harus dikarenakan Allah semata. Rasulullah saw bersabda, “Siapa saja yang memberi karena Allah, menolak karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah dan menikah karena Allah, maka berarti ia telah sempurna imannya” (HR. Al Hakim)  

Apakah ada sakit ketika iman ini telah sempurna? Tentu tidak akan ada sakit jika iman ini sempurna. Lalu apa cinta karena Allah itu? Cinta karena Allah adalah mencintai hamba Allah karena keimanan kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya. Tidak mungkin ada sakit dalam cinta, jika disandarkan pada Allah, begitupula cinta tidak akan pernah ada cinta yang bisa kita rasakan, jika kita tidak mengetahui karena apa kita mencintai seseorang. Itulah yang dijadikan untuk melihat standar kadar cinta seseorang... 
Kesimpulan

Cinta itu sangat sederhana, kita tidak perlu ‘lebay’ dalam mengartikanya. Lebay dalam artian, masa harus menangis karena cinta? Masa kita harus jual kehormatan dan harga diri ini karena cinta? Masa harus bunuh diri karena cinta? Apalagi mengatakan ‘ku menangis untuk membuktikan bukti cintaku pada si dia’, atau mengatakan ‘harus ada sakit jika mencintai seseorang’ (hallah). Ke-lebay-an dalam mengartikan cinta inilah yang justru menghilangkan makna cinta yang sebenarnya, bukan malah mencerahkan apa makna cinta itu sendiri. Yahya bin Mu’az berkata: “Cinta karena Allah tidak akan bertambah hanya karena orang yang engkau cintai berbuat baik kepadamu, dan tidak akan berkurang karena ia berlaku kasar kepadamu”.

Lho kok bisa? Iyalah karena cinta anda tumbuh bersemi karena adanya iman, sehingga bila iman orang yang anda cintai tidak bertambah, maka cinta andapun tidak akan bertambah. Dan sebaliknya, bila iman orang yang anda cintai berkurang, maka cinta andapun turut berkurang. Anda cinta kepadanya bukan karena materi, pangkat kedudukan atau wajah yang rupawan, akan tetapi karena ia beriman. Itulah kenapa cinta itu di sebut karunia Allah, dan karena itu pula dalam karunia Allah itu tidak mungkin ada sakit didalamnya...


Imaduddin Al Faruq

      Arsitek Politik

0 comments:

Post a Comment