Bagaimana hukum bunuh diri untuk menyerang tentara Israel dalam rangka mencari syahid?
Jawab:
Hukum dalam masalah ini bisa diklasifikasikan berdasarkan sebab dan kondisi yang terkait, menjadi tiga macam: Pertama, istisyhad (aktivitas mencari syahid) yang diterima. Kedua, istisyhad yang dilakukan karena adanya faktor darurat, atau tidak. Ketiga, bunuh diri atau istisyhad yang dilarang.
Untuk
istisyhad (aktivitas mencari syahid) yang diterima adalah seperti
tindakan Mujahidin yang bertekad untuk meraih syahid, dengan cara
menceburkan diri dalam pertempuran dengan musuh agar dirinya terluka,
atau terbunuh. Baik dengan tujuan menciptakan ketakutan kepada musuh,
maupun memompa semangat dan keberanian pasukan Islam. Tindakan seperti
ini pernah dilakukan oleh sahabat Anas bin Nadhar pada saat Perang Uhud.
Ketika tersebar berita wafatnya baginda Rasulullah saw., sebagian
sahabat mengalami tekanan batin yang luar biasa, maka Anas bin Nadhar
memotivasi mereka agar tetap tegar dan terus maju berperang. Beliau pun
menceburkan diri dalam kecamuknya perang hingga terbunuh sebagai syahid,
dengan menderita luka di sekujur tubuh. Seluruh tubuh beliau tidak ada
yang utuh, sehingga tak seorang pun sahabat yang mengenali jasadnya.
Peristiwa ini diabadikan oleh Allah di dalam al-Qur'an:
“Di
antara orang-orang Mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang
Telah mereka janjikan kepada Allah. Maka di antara mereka ada yang gugur
(sebagai syahid), dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu
(giliran untuk mendapatkan syahid) dan mereka tidak merobah (janjinya).”
(Q.s. al-Ahzab [33]: 23)
Karena itu, dalam konteks
ini tidak ada ikhtilaf dan kekaburan sedikit pun, tentang diperbolehkan
dan diterimanya tindakan tersebut oleh syariah. Adapun hukum
tindakan istisyhad dalam konteks kedua, yaitu karena adanya kondisi
mendesak, yang memang mengharuskan untuk itu, seperti yang dilakukan
oleh Mujahidin di Irak dan Palestina, ketika mereka memasang bom atau
bahan peledak di mobilnya, atau memaki rompi bom dengan remote atau
pelatuk, kemudian berpura-pura menyerah kepada musuh, lalu meledakkan
dirinya, maka tindakan ini dibenarkan, jika dengan itu perlawanan
terhadap musuh tersebut terus-menerus bisa dilakukan. Sebab, jika
perlawanan terhadap musuh tersebut dihentikan, maka justru akan ada
bahaya yang jauh lebih besar akan menimpa kaum Muslimin, yaitu
dikuasainya negeri mereka, sebagaimana yang terjadi di Irak dan
Palestina.
Namun, jika tidak ada kondisi yang mendesak untuk
berperang melawan musuh di tempat itu, sebagaimana yang terjadi di
wilayah aman, bukan wilayah perang, seperti di Indonesia, misalnya, maka
tindakan tersebut tidak boleh dilakukan. Terlebih, jika kemudian
tindakannya, bisa menyebabkan terbunuhnya kaum Muslim lain yang tidak
bersalah. Sementara bunuh diri atau istisyhad yang dilarang
adalah ketika seorang Mujahid ditangkap oleh musuh, kemudian mengalami
penyiksaan yang luar biasa, sebagaimana yang dilakukan oleh AS terhadap
kaum Muslim di penjara Guantanamo, atau Abu Ghuraib, ataupun yang
dilakukan oleh Israel terhadap para pejuang Palestina. Kondisi ini
kadang mendorong seseorang untuk lebih baik mengakhiri hidupnya dengan
cara bunuh diri. Tindakan seperti ini jelas haram, dan tidak termasuk
tindakan bunuh diri yang dibenarkan. Nabi pernah bersabda:
“Pernah
ada seseorang yang terluka, kemudian dia membunuh dirinya. Maka, Allah
pun berfirman: 'Hamba-Ku telah meminta kepada-Ku menyegerakan (kematian)
dirinya, maka Aku haramkan surga untuknya.'” (Hr. Bukhari)
Wallahu a'lam.
Shiddiq Al Jawi
0 comments:
Post a Comment